Ubaidillah Nafi’ *
Dalam pandangan sosiologis, agama dapat dipandang sebagai uniting factor dan deviding factor., atau power of internal integrity dan external conflict. Pada satu sisi agama selalu mengajarkan kasih sayang, kerukunan dan perdamaian yang bersifat universal, tapi pada sisi yang lain agama juga sering dijadikan sebagai instrument atau alat untuk menghancurkan, membunuh atau bahkan membasmi komunitas lain yang yang tidak sejalan dengannya.
Sebuah fenomena sosial yang baru saja terjadi seperti penghancuran masjid dan kantor pusat Golongan Ahmadiyah yang sangat anarkis, dan dilanjutkan dengan aksi sweeping di kantor-kantor cabang Ahmadiyah di daerah-daerah. Ini adalah fenomena tragis yang menjadi pelengkap terjadinya khasanah kekerasan dalam konteks Dunia secara makro dan konteks agama dalam perspektif mikro, yang selalu bergolak. Lebih tragis lagi, buah peristiwa ini seakan-akan dilegitimasi oleh MUI sebagai intitusi resmi religius Islam tertinggi di Indonesia dengan mengeluarkan fatwa pelarangan ajaran Ahmadiyah, karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dan diikuti oleh terbitnya Perda Gubenur di beberapa daerah.
Di sinilah, awal dari segala bencana, Agama yang sejatinya dapat dijadikan mencari kebenaran, lalu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran, sehingga agama menjadi semacam pabrik yang memproduksi klaim kebenaran (truth claim). Realitas semacam ini membentuk paradigma beragama yang eksklusif dan radikalis atau bahkan fundamentalis yang selalu menjadikan agama sebagai tameng dalam segala aksinya. Pandangan seperti ini sebenarnya lebih didasari oleh pemahaman religiusitas yang skriptual terhadap teks-teks agama. Dalam hal ini Schuon punya statmen yang menarik, bahwa Islam menyebar ke seluruh dunia bagaikan kilat berkat substansinya, dan terhenti dikarenakan bentuknya.
Bankitnya Islam Fundamentalism
Sejak jatuhnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 dari kekuasaan yang dipegangnya selama lebih 30 yang sangat dramatis, atau Setelah lebih tiga dasa warsa berada di bawah kekuasaan Orde Baru yang represif, Indonesia mengalami liberalisasi politik dan demokratisasi. Kelompok Islam menemukan momentumnya untuk melakukan akselerasi politik secara kultural dan struktural. Marginalisasi dan tindakan represif yang yang dilakukan oleh rezim penguasa Orde Baru tampaknya menjadi spirit untuk melakukan gerakan di saat yang tepat.
Di samping itu, bisa juga dikatakan bahwa munculnya gerakan-gerakan Islam Fundamentalis di Indonesia itu sesungguhnya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, doktrin Agama Islam yang sangat kaku (skripturalistik) dengan jargon kembali ke Islam secara kaffah. Kedua, Masyarakat yang mengalami modernisasi, sekularisasi, dekadensi moral dan krisis kepemimpinan, yang memantapkan dan meyakinkan umat bahwa solusinya adalah Islam. Ketiga, Pengaruh penyebaran wacana dan gerakan Islam Fundamentalis di Timur Tengah. Keempat, Kebijakan politik luar negeri Barat (Amerika dan Sekutunya) yang acap kali merugikan dan menyudutkan Islam, dan Kelima, lahirnya kelompok Islam Liberal di Indonesia yang dinilai semakin provokatif, sehingga mengundang perlawanan dari kelompok yang berhaluan literal (scripturalis). Kesemuanya ini menjadi faktor kunci tumbuhnya fundamentalisme Islam di Indonesia yang direpresentasikan oleh ormas-ormas Islam dan partai-partai politik Islam.
Suatu hal yang perlu dilakukan sekarang adalah, mengembalikan nilai-nilai universal seperti kemaslahatan umum, egalitarianisme, pluralisme, rasionalisme, demokrasi sebagai prinsip-prinsip paradigmatik syariat sehingga tidak terjebak dalam lingkaran literalisme, radikalisme, konservatisme dan fundamentalisme. Dan untuk mendukung paradigma model religiusitas di atas, agar mempunyai makna yang konstruktif dan signifikan di masa depan, maka perlu dikembangkan metode pemahaman Fenomenologis dan Perennialistik. Metode Fenomenologis yaitu suatu cara memahami agama yang ada dengan sikap apresiatif tanpa semangat penaklukan atau pengkafiran. Dan metode Perennialistik adalah usaha pencarian akan adanya apa yang disebut transcendent unity of religious (hikmah klalidah). Di balik perbedaan secara eksoteris ada persamaan pesan tentang kesatuan transenden (kepasrahan kepada Realitas Yang Mutlak yakni Tuhan, terlepas dari Yang Mutlak itu kemudian dikonstruksi ke dalam bahasa para pemeluknya yang jelas-jelas bersifat partikular. Dari sinilah kita akan dapat mengambil makna penting arti sebuah varians keberagamaan dalam hidup ini.